Kebijakan pemerintah melakukan konversi minyak tanah ke elpiji, awalanya merupakan upaya pemerintah mencari solusi atas kenaikan haraga minyak mentah dunia. namun, apa daya konversi tersebut justeru menimbulkan masalah baru yaitu kelangkaan elpiji yang berujung pada kenaikan harga elpiji
Mendengar ataupun melihat slogan “menyelesaikan masalah tanpa masalah” pastilah mata dan telinga kita tertuju pada sebuah nama yaitu pegadaian. Slogan tersbut merupakan ‘ruh’ bahwasanya kehadirannya mampu memberikan penyelesaian secara tuntas terhadap permasalah ekonomi tanpa menimbulkan masalah yang baru.
Hal ini tentu sangat berbeda dengan ulah para eksekutif, maupun legislatif kita dalam menelurkan sebuah kebijakan, dimana kebijakan yang dibuat tak jarang hanya menimbulkan masalah baru. Istilahnya, menyelesaikan maaslah dengan masalah.
Kesan inilah yang muncul tatkala pemerintah melakukan kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji. Pemerintah bisa dikatakan mebuat langkah ‘blunder’ dan cenderung tidak antisipatif. Pasalnya dengan adanya konversi berarti secara tidak langsung masyarakat dijadikan sebagai masyarakat konsumtif akan elpiji. Masyarakat yang dulunya mengkonsumsi minyak tanah, berbondong-bondong beralih ke elpiji .apalagi dengan berbagai iming-iming pemerintah mulai dari harga yang murah, irit dan sebagainya. Kontan permintaan akan elpiji pun naik.. padahal disisi lain elpiji yang berbahan dasar gas merupakan salah satu sumber daya alam yang jumlahnya terbatas. Ketimpangan antara permintaan dan penawaran (baca: ketersediaan elpiji) yang menyebabkan dan selalu menjadi masalah utama dalam ilmu ekonomi yaitu kelangkaan.
Hukum ekonomi selalu mengatakan “jika permintaan naik, sementara penawaran tetap maka harga akan cenderung naik”. Relitas inilah yang terjadi pada Elpiji, dimana perlahan tapi pasti harga elpiji mulai merangkak naik.
Seolah nasi telah menjadi bubur, kini masyarakat dihadapkan pada permasalahan baru yaitu kenaikan elpiji. Padahal dahulu masyarakat berharap konversi mampu menjadi ‘dewa penyelamat’ dan jalan alternative atas kenaikan harga minyak dunia dan besarnya subsidi minyak tanah yang ditanggung pemerintah.
Dengan rencana pertamina menaikan harga elpiji ukuran 12 kg sebesar 17,6 % atau naik dari 51.000 menjadi 60.000 per tabung., tentunya akan semakin memberarkan biaya hidup masyarakat pasca kenaikan harga BBM. Apa lacur masyarakat pun harus mau menerimanya, karena mereka kini telah menjadi ‘pengkonsumsi’ aktif elpiji
Beralih kembali menggunakan minyak tanah adalah sesuatu yang mustahil. Penyebabnya adalah harga minyak tanah saat ini sudah terlanjur mahal karena pencabutan subsidi dari pemerintah. . Untuk satu liter minyak tanah saja pertamina menetapakan harga Rp 2.500. belum lagi dalam praktik dilapangan yang biasanya mengalami ‘mark up’ yang bisa mencapai kisaran harga Rp 3.000 sampai 5.000 untuk satu liternya.
Elpiji jangan naik dulu
menurut hemat saya, langkah paling efektif yaitu Elpiji jangan dinaikan terlebih dahulu. Hal ini terkait dengan dampak kenaikan nantinya. Kenaikan yang hanya akan menambah derita dan beban hidup masyarakat.. belum lagi menilik kebutuhan masyarakat saat ini yang dihadapakan pada banyak kebutuhan , mulai dari pendidikan hingga persiapan menjelkang puasa dan idul fitri. Selain itu , bukankah Masyarakat saat ini masih dalam kondsi ‘shock terapy’ pasca kenikan harga BBM.
Bagaimanapun elpiji bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, kini sudah menjadi barang primer dan sentral dalam kehidupan laiknya BBM. Kenaikan harga elpiji akan berefek domino, yaitu kenaikan pada berbagai harga barang-barang lainnya. .pemerintah seharusnya mempertimbangkan matang-matang sebelum memutuskan menaikan atau tidak harga elpiji. jika tidak, haruskah rakyat lagi-lagi kembali menderita dan menjadi korban atas kebijakan yang katanya dibuat demi mensejahterakan rakyat.
0 Komentar