BANYAK PARTAI= BANYAK GOLPUT

Pasca reformasi dinamika kehidupan politik terus berkembang. Salah satunya adalah dinamika yang terjadi dalam jumlah kontestas peserta pada pemilihan umum (pemilu). pada pemilu tahun 1999 di ikuti oleh 48 partai, pemilu 2004 di ikuti oleh 24 partai dan pemilu 2009 nanti akan di ikuti 34 partai. Namun satu yang pasti adalah tingkat golput yang selalu mengalami kenaikan dari pemilu kepemilu.

Banyak partai, semakin banyak golput (golongan putih). Relitas inilah yang terjadi dalam kehidupan perpolitikan dewasa ini. Selepas peralihan dari pemilu era tiga partai ala orde baru menuju pemilu multiparatai era reformasi, angka golput mengalami lonjakan kenaikan yang cukup signifikan. Pada pemilihan presiden-wakil presiden tahun 2004 putaran pertama misalnya , angka ketidakhadiran pemilih dan suara rusak mencapai 24,60 persen dari daftar pemilih tetap. Besaran itu bertambah menjadi 26,31 persen pada pilpres putaran kedua

Kini memasuki pemilu 2009 yang tinggal menghitung hari masyarakat dan tentunya partai poltitk dihadapkan pada bayang-bayang tingginya angka golput. Hal ini didasarkan pada hasil pilkada diberbagai kota dan provinsi selama kurun 2005 sampai dengan 2009, dimana angka golput rata-rata sekitar 34,06 persen. Sehingga tak salah kemudian muncul selentingan pilkada pun sebenarnya dimenangi golput.

Jika menelisik fenomena global yaitu golput yang terjadi akhir-akhir ini, merupakan jawaban atas kejenuhan masyarakat terhadap banyaknya partai yang ada saat ini. hal ini disebabkan karena beberapa hal;

Pertama, banyakanya partai berarti semakin banyak janji-janji politik. Setiap paratai menawarkan janji-janjinya dari yang rasionil sampai yang irasionail, demi memperoleh masa. Disisi lain masyarakat sudah terlalu banyak makan garam atas janji parpol yang sekadar janji dan urung terealisai.

Kedua, kedekatan cultural antara parpol dengan masyarakat rendah. Sehingga, Acapakali terjadi miscommunication antara keinginan masyarakat dengan parpol. Ini dapat dilihat misalnya pada pengajuan calon eksekutif ataupun legislative yang terkadang kurang dikenal oleh masyarakat. Ataupun pada program parpol yang tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat.

Ketiga, hubungan parasit yang dilakukan parpol. Seringkali parpol memanfaatkan masyarakat hanya untuk mendulang suara. habis manis sepah dibuang, keinginan dan kebutuhan masyarakat pun diabaikan.

Keempat, wacana golput melalui media masa dan para pengusung golput. Wacana golput terus didengungkan baik dimedia cetak, elektronik maupn melalui diskusi-diskusi yang terbukti efektif dalam membentuk opini public bahwasanya golput adalah sah-sah saja dan merupakan keniscayaan dalam alam demokrasi

Keempat hal tersebut seharusnya menjadi perhatian serius yang harus segera dibenahi oleh parpol. Jika tidak, maka prediksi tingginya angka golput dalam pemilu 2009 akan menjadi kenyataan.

Miris memang, dinegeri yang konon sedang membangun demokrasi, namun sudah dihadapkan pada masalah baru yaitu golput. Inikah yang dinamakan demokrasi dimana setiap orang bebas untuk menentukan pendapatnya, dan tidak ada yang minoritas ataupun mayoritas? Jadi salah jikalau ada yang mengancam untuk menyatakan mereka (golput) sebagai bukan bagian dari warga Negara Indonesia.

Saatnyalah parpol introspeksi diri yaitu dengan tidak hanya pandai mengumbar janji. Sebaliknya waktunya parpol untuk membuktikan bahwasanya kehadirannya mampu memberikan solusi-solusi konkrit atas permasalahan yang ada.


Posting Komentar

0 Komentar