Ungkapan yang menyatakan SBY dipasangkan dengan siapa pun, bahkan dengan sandal jepit sekalipun bakal menang, tampaknya mulai menuai kebenarannya.
Diplot berpasangan dengan Boediono yang notabene dari kalangan akademisi dan kurang dikenal publik, sempat memunculkan keraguan di banyak kalangan. Termasuk dari para partai pendukung koalisi yang menganggapnya sebagai blunder politik yang justru bisa menurunkan popularitas SBY sendiri.
Akan tetapi, keraguan tersebut akhirnya terjawab sudah. SBY secara meyakinkan mampu mengungguli lawan-lawan politiknya dengan kemenangan telak.
Perolehan suara SBY-Boediono yang demikian tinggi memang tak lepas dari sosok SBY. Figuritas SBY memang mempunyai daya magis tersendiri. Bak ibarat sihir, mampu mengubah sesuatu yang biasa menjadi luar biasa. Berkat SBY, nilai minus dari Boediono yang dianggap banyak kalangan sebagai tokoh neoliberalis dengan sendirinya terkikis dan seolah menjadi tak berarti. Sosoknya yang ”kalem” dan cenderung menempatkan diri sebagai tokoh protagonis yang tidak terlalu banyak berkoar, merupakan daya pikat bagi masyarakat Indonesia yang cenderung patriarkat. Berbagai sindiran dan serangan dari lawan-lawan politiknya justru membuat citranya semakin melejit.
Faktor lain yang menyebabkan kemenangan SBY secara mutlak adalah lawan tanding yang tak sepadan. Ibarat sepak bola, JK dan Mega hanyalah kuda hitam. Baik JK maupun Mega secara head to head kalah telak dengan sosok SBY. Hal ini tak lepas dari citra ”buruk” yang melekat pada keduanya.
Megawati dimata publik tidak mampu membuat perubahan secara signifikan tatkala diberi kesempatan untuk menjadi RI I pada tahun 2000. Kelemahan lain adalah citra mega yang dianggap terlalu ”lembut” sebagai pemimpin bangsa yang besar dengan segala kompleksitas masalahnya. Pun demikian jargon ”wong cilik”, ekonomi kerakyatan dan ”nasionalis” yang diusungnya, justru banyak bertentangan dengan kepemimpinannya sewaktu menjadi RI satu, yaitu citra sebagai penjual aset-aset bangsa.
Sementara JK, banyak pihak yang meragukan kinerjanya. Sebab, sebagai wakil presiden saja tidak banyak prestasi yang bisa dihasilkannya. Isu antineoliberalisme yang diusungnya ternyata tak mampu menarik simpati masyarakat Indonesia. Isu tersebut hanya menjadi isu yang elitis, sebab hanya berhasil memengaruhi opini publik pada tataran kalangan rasional (mahasiswa-pen) dan masyarakat kelas atas. Di samping itu, pencalonan JK sendiri ternyata menimbulkan friksi di internal partai berlambang pohon beringin itu sendiri. Sehingga suara dukungan partai menjadi tidak sepenuhnya bulat dan cenderung terpecah-pecah.
Di sisi lain, status SBY sebagai incumbent juga menjadi faktor keuntungan tersendiri. Dengan label incumbent, berbagai keberhasilan yang digapai pemerintah oleh masyarakat bisa dinilai dan diterjemahkan sebagai keberhasilan SBY. Sementara itu, dari sisi marketing status incumbent bisa menjadi alat yang lebih efektif dan efisien untuk mengenalkannya ke publik, dari Sabang sampai Merauke dan dari kota hingga pelosok-pelosok desa terpencil sekalipun.
Akhirnya, siapa pun yang terpilih menjadi presiden, yang terpenting semoga saja mampu merealisasikan janji-janjinya semasa kampanye.
0 Komentar