Gurita Mental Inlander


“Engkau sarjana muda Resah mencari kerja Mengandalkan ijazahmu Empat tahun lamanya Bergelut dengan buku Untuk jaminan masa depan”

Beberapa bait syair lagu Sarjana Muda karya Iwan Fals tersebut merupakan gambaran nyata akan kondisi sarjana dewasa ini.
Sarjana yang lebih suka sebagai “job seeker” (para pencari kerja) ketimbang sebagai “job maker” (para pembuat kerja). Dengan hanya mengandalkan ijazah, mereka berpetualang dari satu tempat ke tempat lain. Meminjam istilah Iwan Fals, tak peduli berusaha lagi, namun kata sama yang kau dapat, yakni tidak diterima ataupun karena tidak adanya lowongan.




Kecenderungan sarjana menjadi job seeker tentu tidak lepas dari mengguritanya mental inlander (pekerja terjajah) dalam “mindset” mahasiswa, yakni seorang sarjana dianggap berhasil jika bekerja di kantor dengan pakaian rapi, tempat kerjanya jelas, dan cukup mentereng. Apalagi ditambah embel-embel pegawai negeri yang menjanjikan zona nyaman dan jaminan masa depan.
Karena itu, munculnya wacana bantuan kredit sarjana sebesar Rp 5 juta bagi sarjana merupakan langkah nyata pemerintah dalam mengurangi “pengangguran sarjana” yang dari tahun ke tahun jumlahnya semakin meningkat. Tercatat pada 2005, jumlah sarjana yang menganggur sebanyak 183.629 orang. Setahun kemudian, yakni tahun 2006, bertambah menjadi 409.890, tahun 2007 menjadi 740.000 orang. Pada Agustus 2009 melonjak menjadi 961.000 pengangguran. “Pengangguran sarjana” dewasa ini memang menjadi salah satu permasalahan sosial yang menarik. Semakin tinggi tingkat pendidikan ternyata tidaklah menjadikan seorang mudah untuk menjamin masa depan dalam hal kerja. Sebaliknya justru semakin besar peluang menjadi pengangguran.
Menurut Prof Winarno, Rektor Unika Atma Jaya, untuk mengatasi persoalan pengangguran, perlu hendaknya dikembangkan secara maksimal komitmen wirausaha (entrepreneurship) khususnya di kalangan pemuda. Suatu entrepreneur di suatu negara idealnya sedikitnya 2 persen dari jumlah penduduk (Gatra, 1 November 2009).
Akan tetapi, wacana bantuan kredit wirausaha sarjana bisa jadi hanya menjadi hal yang mubazir alias sia-sia belaka. Tatkala program itu tanpa didahului dengan upaya menghapus mental “inlander” terlebih dahulu. Mental “inlander” yang selama ini telah menyiutkan nyali sarjana untuk terjun dan menyoba dunia usaha. Dunia yang sebenarnya menjanjikan peluang untuk maju secara ekonomis lebih besar.
Upaya nyata untuk menghapus mental “inlander” dan menumbuhkan mental wirausaha pada sarjana dapat dilakukan dengan memasukkan wirausaha ke dalam kurikulum perguruan tinggi, yakni menjadikannya sebagai mata kuliah. Menurut penulis, konsep mata kuliah kewirausahaan idealnya terdapat kerangka teoretis dan praktisnya di lapangan. Oleh karenanya, perlu dibuat dua mata kuliah berbeda, yakni teori kewirausahaan dan praktik kewirausahaan.
Kedua mata kuliah itu dijadikan sebagai mata kuliah umum yang berarti wajib diambil oleh semua mahasiswa dari semua jurusan. Hal itu karena selama ini “kewirausahaan” terkesan eksklusif milik anak-anak ekonomi dan “haram” untuk dipelajari mahasiswa lain

Posting Komentar

0 Komentar